Housekeeping.my.id –
Kegagalan Timnas Indonesia di Piala AFF 2024 sepantasnya jadi alarm PSSI bahwa perbaikan pembinaan Liga Indonesia tak bisa ditawar.
Gagal lolos ke babak semifinal Piala AFF 2024 tentu menyakitkan. Namun, dengan komposisi skuad yang dipilih, performa yang ditampilkan menyiratkan ada harapan.
Bahwa ada banyak peluang terbuang karena kualitas individu pemain, itu fakta. Bahwa sisi emosional pemain masih mudah terprovokasi lawan, juga bukan sebuah fiksi.
Kecerdikan strategi permainan Shin Tae Yong tidak bertuah, pun nyata. Hanya saja bukan itu yang menjadi akar persoalan yang menggerogoti kualitas tim Merah Putih.
Performa pemain U-22 di Timnas Indonesia memperlihatkan wajah sepak bola Indonesia yang dibina PSSI. Kualitas individu, pemahaman taktik, dan sisi emosi, jadi pekerjaan besar.
Saat imbang 3-3 lawan Laos, kualitas individu pemain terpampang nyata. Salah umpan jadi hal biasa dan pemahaman taktik lemah. Instruksi Shin tak berjalan di atas lapangan.
Ketika melawan Filipina, sisi emosi menyala-nyala. Provokasi lawan tak bisa dibalas dengan cerdas. Dampaknya, lawan bisa mempermainkan psikologi panas itu sambil tersenyum.
Hal sama tergambar dalam semua lapisan sepak bola usia Indonesia. Dari sekolah sepak bola (SSB) hingga kompetisi terelite, emosi dan taktik jadi isu yang dikeluhkan.
Dalam situasi yang memprihatinkan ini, PSSI malah belum punya blue print atau cetak biru pembangunan sepak bola nasional. Adanya baru angan-angan jangka panjang.
Karenanya pula filosofi sepak bola Indonesia (Filanesia) yang sudah diterbitkan PSSI kurang mendarah daging. Panduan untuk pelatih sudah dibuat, tetapi visi misinya abu-abu.
Oleh sebab itu pantas pula SEA Games yang tak bagian dari agenda FIFA lebih utama ketimbang Piala AFF sebagai turnamen yang diakui AFC dan FIFA. Ada kesesatan visi dari PSSI.
Baca di halaman berikutnya>>>
Artikel ini Disadur Dari Berita : https://www.cnnindonesia.com/olahraga/20241223212146-142-1180433/kegagalan-timnas-di-piala-aff-realitas-kompetisi-dan-ilusi-prestasi